Page 48 - mediajaya-ed-1-2016
P. 48
CORAK JAKARTA 48
KULTUR ASING
MEMBUAT BETAWI KAYA WARNA
eninggalan arsitektur Tion- pengaruh terhadap bahasa percaka- Panjang cadarnya 30 cm, terbuat
ghoa yang masih kokoh pan sehari-hari orang-orang Betawi dari manik-manik.
berdiri adalah bangunan hingga kini. Dalam kesenian, akulturasi bu-
Pklenteng dan wihara. Tem- Misalnya bahasa Anda atau Kamu daya Tionghoa juga terlihat dari kes-
pat sembahyang peranakan Tiong- dengan Lu dan menyebut diri sendiri enian Gambang Kromong, yaitu kes-
hoa ini bisa dilihat dari sebagai We atau Owe dan kemudi- enian yang memadukan alat musik
wihara yang berada di sudut-sudut an berkembang menjadi Gue, yang lokal gamelan dengan alat-alat musik
Jakarta yang rata-rata berusia ratu- menjadi bahasa keseharian bahasa Tionghoa, seperti sukong, tehyan,
san tahun. pergaulan di Jakarta sejak lama. dan kongahyan. Sebutan Gambang
Salah satunya adalah wihara Yahya juga menyebut interak- Kromong diambil dari nama dua
yang didirikan sekitar abad ke 16 si dengan orang Tionghoa tersebut buah alat perkusi, yaitu gambang
di Petak Sembilan, Glodok, Jakarta hingga kini pengaruhnya masih bisa dan kromong.
Barat. Tempat ini dikenal sebagai Vi- terasakan. Menurut cerita Yahya, musik
hara Dharma Bhakti atau Klenteng "Dalam usana Betawi sekarang Gambang Kromong merupakan
Kebajikan Emas (Kim Tek Le) yang dikenal dengan Rias Besar Busane kesenian yang berkembang sekitar
hingga kini masih ramai dikunjungi Cara None Cine. Busana yang dike- abad ke-17.
umat Budha peranakan Tionghoa, nakan mempelai wanita setelah ijab
khususnya yang tinggal di sekitar kabul menggunakan siangko. Sebe-
Glodok. lum dipakai untuk busana pengan-
Jakarta dihuni penduduk dari beragam suku bangsa, termasuk etnis
Tionghoa. Jejak peranakan Tionghoa di Jakarta terlihat dari bebera-
pa arsitektur bangunan seperti wihara. Selain itu pengaruh Tiong
hoa juga terserap menjadi bagian budaya Betawi yang hingga
kini masih lestari.
Menurut penggiat Budaya Betawi tin, siangko sudah dipakai seniman Pengaruh Tionghoa yang masih
Yahya Andi Saputra, warga Tiong- yang bisa dilihat dari pakaian penari terlihat hingga saat ini adalah main
hoa memasuki Batavia melalui Ban- doger atau ronggeng topeng," tam- pukulan alias silat Beksi. Yahya
dar Kelapa sejak abad ke-13 hingga bahnya. menjelaskan Beksi yang mengan-
abad ke-14. Penggunaan siangko, menurut dalkan pertahanan dengan mengun-
"Sejak masuk Bandar Sunda Ke- Yahya, terjadi secara alami. Menu- ci empat penjuru angin ini awalnya
lapa, orang Tionghoa memang ingin rutnya, siangko bercadar ada kemiri- dikenal oleh orang pribumi sebagai
berdagang. pan dengan busana yang dikenakan pukulan Empat Kelime Pancer.
Untuk itu mereka aktif berkomu- orang Tionghoa. Di kalangan orang Yahya mengatakan pengaruh
nikasi dan berinteraksi dengan war- Betawi kini siangko bercadar diang- keberadaan orang Tionghoa di Ja-
ga lokal. Dan sejak itu unsur-unsur gap sebagai perlambang kesucian karta merupakan hal yang alamiah.
Tionghoa seolah menjadi bagian seorang Pasalnya bukan hanya Tionghoa
dari keseharian warga," tutur Yahya. Siangko bercadar selalu berwar- saja, budaya lainnya seperti Melayu,
Interaksi warga Tionghoa dengan na emas, karena aslinya terbuat dari Arab dan Eropa juga memengaruhi
warga pribumi yang berakar melayu, emas atau bahan perak. Biasanya perkembangan budaya Betawi.
menurut Yahya semakin terserap dihiasi batu-batu permata, bahkan ALF
dan berbaur. Bisa jadi hal itu ber- ada yang bertahtakan intan berlian.
Media Jaya | Nomor 01 Tahun 2016