Page 37 - JaKita Edisi 12 Tahun 2021
P. 37
KULINER 37
bening. Lantainya kinclong. Padahal, letaknya
di pinggir jalan berdebu dan ramai kendaraan
bermotor.
Pagi menjelang siang itu cucu Saripah, Ahmad
Zaelani nampak sedang melayani pembeli. Fauzan
dan anak perempuannya, Asmiranda membeli
sepuluh potong kue sengkulun untuk sarapan.
Fauzan yang asli putra Betawi ini mengaku selalu
memperkenalkan makanan khas Betawi kepada
anaknya.
“Saya ingin anak-anak kenal berbagai makanan
khas Betawi. Saya tidak ingin anak-anak tahunya
makanan kebarat-baratan. Sehingga, identitas
budaya kota Jakarta bisa terjaga,” ujar Fauzan
ramah.
Asmiranda tersenyum membenarkan pernyataan
ayahnya. Menurut gadis manis kelas lima SD ini selain
kue sengkulun, keluarganya suka berburu kudapan
khas Betawi lainnya. Mulai dari putu mayang,
kembang goyang, kue cucur, talam, hingga cente
manis. “Ayah selalu mengajak jajan kue-kue khas
Betawi. Ayah jarang membelikan kue kekinian,” kata
Asmiranda sambil melirik manja kepada ayahnya.
Nenek Saripah yang baru pulang dari pasar ikut
nimbrung di warungnya. Dia senang kue buatannya
masih diminati generasi muda seperti Fauzan dan
Asmiranda. “Alhamdulillah masih ada yang suka
sama kue sengkulun buatan nenek,” kata Saripah
semringah.
Semula, Saripah menjual pecak lele, sayur gabus
pucung, dan ayam sampyok. Sayangnya, peminat
aneka masakan khas Betawi tersebut semakin
berkurang. Ibu empat anak dan enam cucu ini
berhenti jualan.Dia berharap kue sengkulun tidak
bernasib sama.
Setiap hari, kecuali Jumat, Saripah membuat kue
sengkulun hanya dua loyang dan dijual seharga,
Rp2.000/potong. Saripah juga kadang-kadang
terima pesanan kue sengkulun partai besar untuk
Ahmad Zaelani, arisan, sunatan, dan pengajian.
melayani pembeli
kue Sengkulun. “Nenek sudah tua. Cuma sanggup membuat dua loyang
setiap hari. Ini juga entah sampai kapan. Sayang kalau
Foto tidak ada yang meneruskan,” kata Saripah sendu. yen
Dharma W.
EDISI 12 TAHUN 2021
Sarana Informasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta