Page 41 - MJ EDISI 6 2019
P. 41
OPINI PEMBACA
Lapangan pandang mata, tetapi dari sini terekam pula sahkan padri Jerman penulis 13 buku ten-
tang sejarah Jakarta-- itu petani-
perjalanan zaman.
petani bunga dari Rawa Belong
Pada masa kolonial Belanda, Lapangan
Banteng Banteng disebut Waterlooplein (Lapangan sedang menghias booth
Jakarta Smart City
Waterloo), untuk mengenang pertem-
puran terakhir Napoleon di Lapangan
dari Prancis melawan pa- Banteng. Bers-
enara-menara Gereja Katedral, kubah sukan gabungan Inggris, ama Dinas Ket-
Mputih Masjid Istiqlal, serta patung Pem- Belanda, serta Inggris di ahanan Pangan,
bebasan Irian Barat seperti mengantarkan Waterloo, dekat Ibu Kelautan dan Per-
sang surya ke peraduannya di balik langit ke- Kota Belgia, Brus- tanian, JSC mengi-
sumba. Jelang magrib itu, saya menyaksikan sels, pada 1815. kuti sebuah bazar
pesona senja tersebut di undakan teratas Sedangkan penjajah unik dalam rangka
amfiteater Lapangan Banteng. Pertunjukan Jepang menamakannya La- ulang tahun Jakarta
air mancur menari dengan cahaya lampu la- pangan Singa, karena di tengah ke-492. Sepekan kemudian,
ser warna-warni belum dimulai. tugu peringatan pertempuran di Water- Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Memandang menara-menara Gereja loo ada patung singa. bekerja sama dengan etnomusikolog
Katedral di kejauhan, saya teringat sajak Tak begitu jelas kenapa setelah ke- Franki Raden pun mengadakan konser Jakar-
Toto Sudarto Bachtiar, Gadis Peminta-minta. merdekaan singa berubah jadi banteng. Yang ta Beat Society di sini. Aneka musik tersaji,
Puisi tentang seorang pengemis perempuan jelas Presiden Soekarno meminta pematung dari gambang kromong Betawi, keroncong
cilik yang tinggal di bawah jembatan, ditulis Edhi Sunarso untuk membuat Monumen Tugu, penggesek biola Helga dari Hongaria,
pada 1950: “Duniamu yang lebih tinggi dari Pembebebasan Irian Barat di Lapangan Ban- hingga Chris Berry dari Amerika Serikat yang
menara katedral/ Melintas-lintas di atas air teng. Edhi adalah pematung kesayangan pernah meraih Grammy Awards.
kotor, tapi yang begitu kau hafal.” Potret ke- Soekarno yang juga membuat Monumen Se- RTH sebagai ruang ketiga, setelah rumah
miskinan ini ditutup dengan imajinasi kema- lamat Datang di Bundaran HI dan Monumen dan tempat bekerja, menjadi arena berinter-
tian nan menghenyakkan: “Kalau kau mati, Dirgantara di Pancoran. aksi warga yang tak mengenal kelas sosial.
gadis kecil berkaleng kecil/ Bulan di atas itu Dalam buku Sejarah Jakarta: dari Masa Kita bukan saja menghirup hawa segar ta-
tak ada yang punya/ Dan kotaku, oh kotaku/ Prasejarah sampai Akhir Abad Ke-20 yang man atau hutan kota, tetapi juga berkena-
Hidupnya tak lagi punya tanda.” terbit tahun lalu, mendiang Adolf Heuken lan lalu bercakap, berolahraga, berekreasi
Lima tahun setelah kemerdekaan, salah menyajikan sebuah foto repro lukisan S. Epp bersama keluarga atau teman, berkumpul
satu penanda Jakarta boleh jadi kemiskinan. (1841), Waterlooplein. Potret menarik ini dalam komunitas-komunitas hobi, makan
Namun, 70 tahun sesudah penyerahan ke- merekam keseharian di Lapangan Banteng dan minum, menikmati musik, bahkan seka-
daulatan dari Belanda ke Indonesia, Ibu Kota yang menjadi pusat kehidupan sosial pada dar duduk sendirian. Laiknya tokoh Jamila
mungkin ditandai dengan ruang terbuka hi- zaman penjajahan Belanda. Sore hari orang- dalam sebuah cerita pendek Nh Dini, Tuile-
jau (RTH) seperti Lapangan Banteng. Bukan orang Batavia bertemu di sana dengan ries. Perawat asal Aljazair itu betah duduk
hanya karena lapangan seluas 5,2 hektar ini menunggang kuda atau naik kereta kuda. berlama-lama di Taman Tuileries, Paris. Tem-
menjadi tempat rekreasi baru nan sedap di- Senja --sebagaimana waktu yang diki- pat ia jatuh cinta --namun tak sampai-- ke-
pada seorang lelaki Prancis, sesudah berce-
rai dengan suaminya yang juga pria Prancis
-- penjajah negerinya.
Lapangan Banteng memang bukan Ta-
man Tuileries. Namun, sejak tahun lalu, ka-
wasan hijau ini berubah wajah menjadi tiga
zona: olahraga, hutan kota, serta Monumen
Pembebasan Irian Barat. Anda tinggal me-
milih: mau berkeringat, bernapas dengan
oksigen sehat, atau asyik-masyuk memasuki
masa silam negeri ini. Ruang terbuka hijau
serta masa lalu berkelindan di sini. Kita me-
masuki masa lalu seakan sebagai cermin
hidup hari ini, sambil berjalan kaki di bawah
rimbun pepohonan seperti melangkah ke
masa depan.
.
(Ramdan Malik)
Media Jaya Edisi 6 2019 41