Page 16 - JaKita Edisi 04 Tahun 2021
P. 16
16
16 KOLOM
UMBU
“Apa ada angin di Jakarta/ Seperti dilepas Gayo, ketika menanam gantungan hidupnya yang
desa Melati/ Apa cintaku bisa lagi cari/ disebut menyerupai nama seorang perempuan:
Akar bukit Wonosari”. Umbu Landu Paranggi “Siti Kawa/ Kunikahkan engkau dengan angin/
menyenandungkan puisi yang ditulisnya pada Air sebagai walimu/ Tanah sebagai saksimu/
1970-an ini. Saya menyaksikannya dalam video Matahari sebagai saksi kalammu.”
yang diputar pada Zoom Malam Puisi mengenang
penyair legendaris itu. Elok suara guru banyak Di balik gedung-gedung pencakar langit ibu kota,
penyair di Yogyakarta dan Bali yang wafat pada 6 Umbu, orang-orang asyik memanfaatkan lahan
April 2021 lalu tersebut. Kedua mata saya tiba-tiba kosong dengan urban farming. Mereka menanam
basah, walau tak pernah bersua dengan putra raja berbagai sayuran hingga beternak ikan lele dan
Sumba Timur yang berpulang pada usia 77 tahun. nila. Di tepi Ciliwung yang manis --sebagaimana
judul sebuah sajak seniormu, Rendra, pada 1955-
Lahir di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur yang - mereka menanam dari bayam sampai pakcoy.
musim kemaraunya bisa berlangsung selama Terlebih pada masa pandemi, halaman rumah-
sembilan bulan, Umbu mengkontraskan Jakarta rumah dan kantor-kantor terasa lebih hijau.
dengan Desa Melati dekat Wonosari, Gunung Bahkan, aneka sayuran ditanam di pipa-pipa
Kidul, Yogyakarta. Penyair yang dijuluki Presiden paralon Balai Kota, buat dipanen.
Malioboro ini bertanya liris, masih adakah angin di
Jakarta? Seperti di Wonosari yang berbukit hijau, Masih ada angin di Jakarta, Umbu, angin yang
tak jauh dari Kota Yogya yang dikembarainya berkesiur menyemai tanaman. Bibit-bibit kian
selama 15 tahun (1960-1975), hingga membentuk mudah diperoleh di toko-toko, bahkan di kios-
kepenyairan Emha Ainun Nadjib sampai pemusik kios pinggir jalan. Warga kota merawatnya untuk
balada Ebiet G. Ade. dipanen kelak. Tak cuma buat makan sendiri, tapi
tak jarang pula dijual. Jangan bersedih, Umbu,
Saya jadi teringat perjumpaan dengan Jacob seperti tengah sajakmu: “Terlontar jauh ke sudut
Tanda yang juga putra Sumba Timur pada 2013 kota/ Kenangkanlah jua yang celaka/ Orang
silam. Kepala Desa Mbatakapidu di Waingapu usiran kota raya”. Tidak pula romantisme di ujung
tersebut memelopori lumbung pangan, agar puisimu ini: “Pulanglah ke desa/ Membangun esok
warganya tidak kelaparan pada musim kemarau. hari/ Kembali ke huma berhati”.
“Kalau mau lapar, ya lapar bersama. Kalau mau
kenyang, ya kenyang bersama. Lahir miskin itu Setelah sekitar setengah abad bertanya dalam
wajar. Mati miskin itu yang tidak wajar,” kata Jacob sajakmu, Umbu, Jakarta sudah banyak berubah..
yang mengajak warganya bertanam pisang, Angin memainkan kupu-kupu pada bunga-bunga
jagung, sorgum, umbi-umbian, kacang-kacangan, mekar di marka serta trotoar Jalan Thamrin
dan lain-lain di halaman rumah. dan Sudirman. Dari Dukuh Atas terlihat petani-
petani kota sibuk menanam dan menyirami
Jacob Tanda menggerakkan kedaulatan dan sayur mayur di pinggir kali pada terik siang. Saya
ketahanan pangan di tanah gersang seperti Sumba. teringat puisi Rendra: “Hidup adalah merjan-
Lalu apakah masih ada angin di metropolitan merjan kemungkinan/ yang terjadi dari keringat
Jakarta yang mengawinkan serbuk sari tanaman? matahari/ Tanpa kemantapan hati rajawali/
Pertanyaan Umbu yang mengembara dalam mata kita hanya melihat fatamorgana”.
benak saya kepada mantera petani-petani kopi Ramdan Malik
EDISI 4
EDISI 4 TAHUN 2021TAHUN 2021
Sarana Informasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Sarana Informasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta